PENGERTIAN
Apakah Kesukuan Itu?
Paling tidak ada dua hal demi sebuah perbedaan. .. jelas, yang satu diantaranya berdasarkan pada satu pemikiran dan persepsi, bukan merupakan satu unit, individu. Bukan merupakan perbedaan pribadi dan bukan selain perbedaan pribadi. Sebuah ketidaktahuan, riuhan akan tepuk tangan.
Gregory Bateson (1979:78)
Kata kelompok suku, kesukuan dan konflik antar suku sudah menjadi istilah yang sering dijumpai dalam bahasa Inggris yang menghiasi surat kabar, berita TV, dunia politik serta dalam percakapan sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi pada pemakaian istilah nasional dan nasionalisme yang terasa ambigu dan kabur.
Banyak kemajuan yang terjadi dalam ilmu pengetahuan sosial. Selama tahun 1980 hingga akhir tahun 1990-an, ada peningkatan publikasi hasil penelitian tentang kesukuan dan nasionalisme khususnya dalam perpolitikan, sejarah, sosiologi dan sosial antropologi.
Khusus dalam antropologi sosial, kesukuan mulai menjadi kajian utama sejak akhir tahun 1960-an sampai tahun 1990-an. Sehingga dalam buku ini, pendekatan antropologi menjadi acuan dalam kajian kesukuan kali ini. Dalam keterkaitannya di lapangan, utamanya antropologi telah berkontribusi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dan lebih jauh lagi, situasi kesukuan inilah yang terjadi lagi dan lagi. Kesukuan timbul melalui situasi sosial dan berkembang serta karena adanya permintaan dalam tantangan hidup.
Antropologi juga memungkinkan untuk mengeksplorasi berbagai cara yang digunakan oleh antar suku; cara mereka berbicara dan berpikir mengenai suku mereka, sebagaimana dengan suku yang lain serta bagaimana pandangan mereka terhadap alam sekitar. Pentingnya komunitas suku dari masyarakat dapat diinvestigasi melalui penelitian melekat dan menyeluruh (grounded), yang mana hal ini sudah menjadi sifat penelitian antropologi. Akhirnya, antropologi sosial sebagai penelitian komparatif meneliti perbedaan dan kesamaan di antara fenomena yang ada pada suku. Hal ini memberi pandangan yang kompleks di dunia yang kontemporer.
Alasan utama bagi dunia akademisi yang tertarik pada penelitian kesukuan dan nasionalisme adalah adanya kenyataan tentang fenomena yang terjadi di masyarakat, yang hal ini tidak mungkin di abaikan begitu saja. Di awal abad 20, para peneliti fenomena sosial percaya bahwa kesukuan dan nasionalisme akan menjadi kurang penting karena terimbas modernisasi, industrialisasi dan individualisme, namun ternyata hal ini tak terjadi. Sebaliknya, kesukuan dan nasionalisme tumbuh di dalam kepentingan politik di dunia, khususnya pasca PD II.
Tiga puluh lima dari tiga puluh tujuh konflik senjata di dunia pada tahun 1991 adalah konflik internal, mulai dari Sri Lanka sampai Irlandia Utara-dapat dikategorikan sebagai konflik antar suku. Ini menambah deretan pelanggaran suku, namun ada juga yang bukan merupakan pelanggaran suku seperti kemerdekaan Quebecois di Kanada. Terlebih di banyak tempat di dunia, pendirian Negara yang merupakan hasil hubungan politik dan identitas bangsa merupakan agenda politik yang tinggi. Identitas suku dan bangsa juga penting, selaras dengan perluasan para migran buruh dan pengungsi ke Eropa dan Amerika Utara, yang mendorong timbulnya suku minoritas. Sejak PD II, khususnya pada tahun 1970-an, populasi asli seperti Inuit (Eskimo) dan Sami (Lapp) menempatkan diri mereka sendiri secara politik, dan mengacu pada indentitas suku dan kemampuan territorial yang harus sepengetahuan Negara. Alhasil, pergolakan politik di Eropa telah menempatkan isu identitas suku dan bangsa pada posisi terdepan dalam kehidupan berpolitik. Ekstrimnya, eks Uni Soviet telah pecah ke dalam puluhan Negara suku. Dengan tenggelamnya Negara sosialis di eropa tengah dan timur, isu kebangsaan dan minoritas muncul sebagai kekuatan yang luar biasa. Sebaliknya, keekstriman lain terjadi, seperti Negara kebangsaan di eropa barat yang berintegrasi secara ekonomi, politik, dan budaya. Namun disini, identitas bangsa dan suku sudah menjadi isu penting dalam beberapa tahun terakhir. Masyarakat takut akan kehilangan identitas bangsa dan suku karena mengikuti standar integrasi eropa. Sisanya yang secara positif menyikapi hal ini, membuka kesempatan untuk mengubah identitas suku dan bangsa secara kontekstual seperti organisasi sepak bola dan pertahanan eropa. Selama kampanye referendum di Denmark dari uni eropa pada tahun 1992, slogan penolakannya adalah: “Saya ingin negara saya tetap eropa”. Slogan ini menjelaskan bahwa identitas pribadi sangat berhubungan dengan proses politik dan identitas social. Seperti tetap Denmark ataukah Orang Eropa tidak lah cukup selesai sekali, namun perlu sebuah negosiasi. Namun hal ini sangat krusial.
Disini akan dijelaskan bahwa antropologi sosial bisa memberikan kejelasan tentang isu kesukuan yang konkrit mengenai hubungan fenomena suku dan proses kejadiannya. Beberapa pertanyaan diskusi yang disuguhkan diantaranya:
- bagaimana group suku bisa bertahan di tengah kondisi sosial masyarakat yang beragram?
- di saat bagaimana kesukuan menjadi begitu penting?
- hubungan apa antara identitas suku dan organisasi politik?
- apakah nasionalisme merupakan bentuk kesukuan?
- hubungan apa antara kesukuan dan bentuk-bentuk lain dari identitas, kelompok sosial dan organisasi politik sebagaimana kelompok dan gender?
- apa yang akan terjadi pada hubungan suku jikalau terjadi industrialisasi sosial?
- bagaimana sejarah bisa sangat menentukan terbentuknya kesukuan?
- hubungan apa antara kesukuan dengan budaya?
Dalam bab pendahuluan akan diperkenalkan konsep utama yang terdapat di dalam buku ini, yang mengemukakan pengertian yang masih ambigu, dan disinilah pentingnya teori.
Pemakaian Istilah
Etnis (suku:Indonesia) merupakan istilah yang baru, ungkap Nathan Glazer dan Daniel Moynihan (1975:1), mengacu pada kamus lama Oxford English Dictionary-kamus Bahasa Inggris Oxford, tahun 1972-yang digunakan pertama kali oleh sosiolog Amerika, David Riesman di tahun 1953. Kata etnis itu sendiri sudah lebih tua yang berasal dari kata Yunani ethnos (yang berasal dari kata ethnikos), yang aslinya adalah bermakna heathen atau pagan (R. Williams, 1976:119). Istilah ini mulai digunakan di dalam bahasa Inggris pada pertengahan abad keempat belas hingga pertengahan abad kesembilan belas, yang mulai bergeser kearah sifat rasial. Di AS, etnis mulai digunakan sejak PD II sebagai sebutan halus untuk orang Yahudi, Italia, Irlandia dan yang lain yang dirasa kecil di tengah kelompok yang lebih dominant, yaitu Inggris. Tak satu pun dari para penemu sosiologi dan sosio-antropologi menaruh perhatian akan hal ini, terkecuali Max Weber.
Sejak tahun 1960-an , kelompok etnis dan etnisitas (baca: kesukuan) menjadi sering digunakan dalam antropologi sosial Anglophone, Ronald Cohen (1978) meski hanya beberapa yang menggunakan istilah tersebut. Dalam buku ini, digali mengenai penggunaan istilah etnisitas, yang rata-rata saling berhubungan meski berbeda tujuan. Dan semua setuju bahwa etnisitas selalu mengacu pada masalah pengkelasan masyarakat dan hubungan kelompok.
Dalam bahasa sehari-hari, kata etnisitas masih berkutak pada isu minoritas dan rasial, namun dalam antropologi sosial istilah tersebut lebih mengacu pada aspek hubungan diantara kelompok itu sendiri, dan dipakai oleh pihak lain sebagai perbedaan budaya. Meski etnisitas terasa konsen pada wacana sendiri dengan unit-unit atau minoritas atau yang lain (Chapman dkk, 1989:17), komunitas yang dominan dan mayoritas bukan berarti kurang bisa disebut etnis dibanding minoritas. Mengenai minoritas dan mayoritas akan dibahas pada bab 6 dan 7.
Etnisitas, Ras, dan Bangsa
Ada hal yang perlu diutarakan, sebelum menyinggung keterkaitan etnisitas dan ‘ras’. Penulisan ‘ras’ selalu dalam tanda petik yang menekankan adanya nilai ketidakpastian, yang membagi manusia kedalam empat ras, terkecuali manusia modern yang tidak melakukannya. Ada dua alasan utama. Pertama, ada banyak jenis manusia yang kurang berarti membicarakan masalah ras yang sudah pasti. kedua, penyebaran karakter fisik secara keturunan yang tidak pasti. Dengan kata lain, ada variasi yang lebih banyak di dalam kelompok rasial dibandingkan dengan variasi sistematis dari dua kelompok malah.
Konsep ras tiada habis berkembang dalam kehidupan tingkah laku manusia; disini, ras lahir sebagai budaya baik disadari maupun tidak. Rasisme seperti berdiri di atas asumsi bahwa individu berhubungan dengan karakter keturunan yang secara ras menimbulkan perbedaan, dan disinilah secara segi social, hal ini terasa penting meski tanpa tujuan khusus didalamnya. Ilmuwan pengetahuan sosial yang meneliti masalah ras di Inggris dan AS, tidak berkeyakinan akan adanya ras karena yang menjadi tujuan penelitian mereka adalah relevansi sosial dan budaya dan persepsi akan adanya ras. Jika ada masyarakat yang terpengaruh oleh pengembangan teori tentang keturunan rambut pirang , dan ternyata berhasil mempengaruhi sosial budaya masyarakat, kepala merah pun bisa menjadi alasan penelitian akademi, meskipun para peneliti tidak berkeyakinan ada perbedaan dengan yang lain. Di suatu masyarakat yang menganggap ras itu penting, maka akan jadi bagian penelitian pada wacana etnisitas.
Apakah kemudian diperlukan pembeda antara kajian etnisitas dengan hubungan suku? Pierre Van den Berghe (1983) kurang sepaham dan cenderung bahwa hubungan ras merupakan sebuah kasus etnisitas. Sedang Michael Banton (1967) berpendapat lain, hal ini perlu. Menurutnya, ras berhubungan dengan pengkategorikan masyarakat sedangkan etnisitas berhubungan dengan pengidentifikasian kelompok. Lebih lanjut, dia mengemukakan bahwa etnisitas biasanya berkenaan dengan kami sedangkan rasial lebih kepada menyangkut mereka (Banton 1983, 106: Jenknins, 1986: 177). Namun demikian, etnisitas bisa muncul dalam berbagai bentuk karena ideologi etnis mereka yang lemah, perbedaan diantara etnisitas dan ras menjadi problematik. Meskipun pendapat Banton bisa digunakan (Bab III). Tidak yakin bisa membedakan antara hubungan ras dengan etnisitas. Ras bisa saja masuk ke dalam kategori ideologi etnis, bisa juga tidak. Masuk tidaknya kedalam kategori, bukan menjadi faktor yang mempengaruhi hubungan antar etnis.
Deskriminasi (adanya pembedaan) sebutan etnis yang disebut rasisme di Trinidad, tapi di Mauritius disebut communalisme (Eriksen, 1992a), namun demikian bentuknya tetap indentik.
Pada saat yang sama, tidak lah benar bahwa kelompok yang terlihat beda dari mayoritas akan lebih sedikit beralasan untuk berasimilasi dengan mayoritas dari pada dengan yang lain, dan akan sulit lepas dari identitas etnisnya. Tetapi, hal ini akan bagus bagi minoritas dengan perintah sederhana dari bahasa yang dominan. Untuk keduanya, identitas etnis mereka menjadi status yang imperatif. Ras maupun warna kulit tidak menentukan di masyarakat.
Hubungan antara etnisitas dan kebangsaan hampir sama kompleksnya dengan etnisitas dan ras. Seperti kata ras dan etnis, kata bangsa mempunyai sejarah yang panjang (R. Williams, 1976:213-14) dan digunakan dalam berbagai variasi makna dalam bahasa Inggris. Kita seharusnya menghindari pembicaraan makna disini dan berkonsentrasi pada masalah makna bangsa dan kebangsaan dalam analisa wacana akademis. Seperti ideologi etnis, nasionalisme menekankan pada kesamaan budaya yang fanatik dan sebagai implikasinya adalah dengan perbandingan dengan orang lain. Membedakan nasionalisme adalah dengan menghubungkan istilah tersebut dengan Negara. Seorang nasionalis yakin bahwa batasan politik harus dihubungkan dengan batasan budaya, dimana banyak kelompok etnis tidak bisa meminta kewenangan yang melebihi kewenangan Negara. Jika para pemimpin pergerakan etnis melakukannya , maka akan menjadi pergerakan nasional.
Etnisitas dan Pengkelasan
Istilah etnisitas (baca:kesukuan) mengacu pada keterkaitan antara kelompok yang merasa dirinya beda, yang di dalam sosial masyarakat di anggap punyai derajad. Inilah mengapa perlu membedakan antara etnisitas dan kelas sosial.
Dalam ilmu sosial, ada dua pengertian kelas. Yang pertama dari Karl Marx sedang yang lain dari Max Webber yang kadang saling melengkapi.
Pendapat Marx mengedepankan pada aspek ekonomi. Kelas sosial berasal dari proses produktivitas di masyarakat. Dalam masyarakat kapitalis, masih menurut Marx, ada tiga kelas. Pertama, kapitalis atau burjous yang mempunyai sumber daya produksi (pabrik, peralatan, mesin dll) dan memperkejakan orang. Kedua, petit burjous yaitu yang hanya mempunyai sumber daya produksi, tanpa memperkerjakan orang seperti halnya mempunyai pertokoan. Dan yang ketiga dan kebanyakan adalah para pekerja atau buruh yang bekerja pada kapitalis. Namun ada kelas lain secara aristokrasi yaitu tuan tanah dan lumpenprolerat yang terdiri dari pengangguran atau tanggungan orang lain, pengemis misalnya.
Di jaman Marxisme pada pertengahan abad kesembilan belas, teori kelas-kelas terpecah menjadi beberapa aliran, namun tetap berkutat masalah properti. Kelanjutan dari proses ini melahirkan sebuah ketertinggalan. Para pengikut Marx yakin bahwa tirani mereka harus dikembalikan dengan melalui revolusi dan merubah tatanan politik serta organisasi sosial kaum buruh. Ajaran inilah yang dijadikan pedoman ke depannya.
Penganut Webber bermula dari teori strata sosial yang dikombinasikan dengan beberapa kriteria termasuk rumah, pendidikan, dan politik. Tidak seperti Marx, Webber tidak mengacu pada kelompok korporasi, tidak ada perlunya sosial masyarakt berperan langsung dalam politik. Dia lebih condong memakai istilah status kelompok bukan kelas.
Teori kelas-kelas sosial selalu mengacu pada sistem peringkatan dan bagi-bagi kekuasaan. Etnisitas, malah tidak mengenal peringkat; hubungan antar etnis malah demokratis. Masyarakat multietnis masih mengalami pengkelasan menurut etnis yang kriterianya masih seputar masalah perbedaan budaya atau ras bukan status.
Mungkin ada hubungan yang erat antara etnisitas dan kelas yang berarti ada kemiripan- yang masuk kelompok etnis berarti masuk juga ke dalam kelas sosial
Perhatian Etnisitas
Jika ada pencarian suatu kata antropologi bahasa Inggris sejak tahun 1950-an, pasti lah memakai kata pencari kunci yang berbeda secara signifikan. Seperti kata structure dan function yang mulai samar, juga istilah marxisme base dan superstructure, means of production dan class struggle begitu dikenal sekitar tahun 1965 hingga awal tahun 1980-an. Seperti kata ethnicity, ethnic dan ethnic group baru mulai stabil pada pertengahan hingga akhir tahun 1960-an. Ada dua sebab. Satu diantaranya adalah adanya perubahan sosial, dan yang lain adalah nuansa dalam antropologi sosial.
Sosial antropologi klasik, sebagaimana diutarakan oleh Malinowski, Boas, Radcliffe-Brown, Levi-Straus, Evans-Pritchard dan yang lain yang mengutamakan masyarakat yang beretnis tunggal, berubah sejak PD II dengan adanya kontak sosial dengan yang lain, dengan Negara dan juga masyarakat global. Pergerakan untuk kemerdekaan atau juga konflik antar etnis pascakoloni telah menimbulkan etnis minoritas seperti kelompok etnis atau aborigin yang banyak bermigrasi ke Amerika Utara maupun Eropa.
Sejumlah penelitian di AS, Glazer dan Moynihan (1963) menunjukan American Melting-pot ( Campuran Amerika) tidak kunjung terjadi. Diutarakan, hal ini lebih ke dalam perbedaan etnis, dan di dalam masyarakat amerika modern, sikap hati-hati tumbuh dan dalam pencarian kerja pun melalui jaringan etnis, dan akan memilih tinggal bersama orang asli dari mereka.
Dari Keluarga Hingga Kelompok Suku
Seperti yang sudah disebutkan di atas, ada perubahan di jaman masyarakat Anglophone yang berfokus pada unit kemasyarakatan. Kalau dulu sering menyebut keluarga, maka sekarang lebih sering berkata kelompok etnis. Ronal Cohen menyebut: “sangat cepat, hanya dengan upacara kecil, etnisitas hadir dimana-mana (Cohen, 1978: 379)”. Kelompok etnis mengundang kontak dan saling keterkaitan. Sehingga, bicara kelompok etnis secara murni bak bertepuk satu tangan.
Apakah Etnisitas Itu?
Bicara tentang etnisitas mengindikasikan bahwa kelompok dan identitas berkembang dalam suasana yang saling membutuhkan, tidak bisa sendirian. Namun, kelompok yang bagaimanakah itu?
Makna budaya yang bervariasi dikemukan oleh A.L. Kroeber dan Clyde Kluckhohn (1952), ada sekitar 300 pengertian yang berbeda-beda. Meski Ronald Cohen benar, kebanyakan para penulis etnisitas tidak mengalami masalah dalam penyebutan, sehingga makna berkembang dengan cepat (B. Williams, 1989). Lepas dari pengertian tersebut, perbedaan perspektif teoritis yang signifikan akan menunjukkan perkembangan istilah, sebagaimana digunakan oleh para ahli antropologi sosial sekarang ini.
Kelompok etnis berarti seperti satu masyarakat. Apakah satu masyarakat itu? Apa populasi di Inggris merupakan satu masyarakat? Apa terdiri dari beberapa orang (Nairn, 1977) atau seperti halnya yang bisa berbahasa Jerman, Inggris atau orang Eropa termasuk di dalamnya?
Etnisitas merupakan sebuah aspek hubungan sosial antara agen yang mengklaim dirinya berbeda secara budaya. Dan hal demikian juga merupakan masalah identitas. Saat perbedaan budaya selalu menjadi pembeda, maka terdapat elemen etnis di dalam hubungan tersebut. Etnisitas mengacu pada dua aspek positif dan negative dalam berinteraksi, dan juga aspek makna suatu identitas. Hal ini juga berarti secara aspek politik dan organisasi, sebagaimana halnya dengan symbol.
Kelompok etnis cenderung mempunyai legenda tentang keasliannya dan juga mempunyai ideologi.
Jenis – jenis Hubungan Suku
Mestinya konsep etnisitas seharusnya mempunyai kesamaan makna, paling tidak, akan bermanfaat untuk membandingkan perbedaan konteks sosial dalam penelitian. Untuk memberikan gambaran yang bervariasi, akan dijelaskan beberapa kajian empiris yang setipe, beberapa jenis kelompok etnis. Dan hal ini tidak akan ada habisnya.
(a) Minoritas etnis urban.
(b) Penduduk asli
(c) Proto-bangsa, seperti bangsa palestina
(d) Kelompok etnis ditengah masyarakat majemuk.
Konsep Analitik dan Konsep Asli
Hal terakhir adalah mengenai hubungan antara konsep antropologi dengan bahan kajiannya. Kompleks, masalah ini menekankan keterkaitan antara (i) teori antropologi dengan teori sebutan “asli”, (ii) teori sebutan “asli” dengan organisasi sosial.
Pergeseran terminologi dari keluarga ke dalam kelompok etnis menuntun pada pembedaan modern dan primitif. Jika etnisitas bisa saja nonmodern dan modern, maka nasionalisme bisa dikatakan era modern.
Nasionalisme sebagai ideologi modern hadir di tengah masyarakat. Meskipun biasanya ada nasionalisme yang berbeda-beda, sebagaimana nasionalisme sebagai ideologi modern yang tumbuh dan berkembang di masa modernisasi, industrialisasi, dan juga individualisme di abad kesembilan belas. Handlier berasumsi tidak mudah bagi para antropolog untuk mendapatkan perbedaan nasionalisme yang ada karena konsep saling menghargai dan cara berpikir yang demikian erat berhubungan.
Banyak orang-orang Kristen saat di kantor, mengiyakan bahwa tidak ada masalah dengan orang-orang Islam, bahkan kadang mereka saling berhubungan dengan akrab. Dan hal ini, malah kontradiksi dengan apa yang dikemukakan para antropolog.
2. Pengkelasan etnis: Kita dan Mereka
Hubungan anggota kelompok mungkin bisa terjadi karena adanya faktor yang berbeda-beda, yang di antaranya adalah pertumbungan populasi, teknologi, masuknya sistem kapitalisme dalam dunia perdagangan dan produksi, politik, serta adanya migrasi. Yang hal ini berarti mengundang perbedaan budaya berkomunikasi.
Stigma Etnis
Hubungan antaretnis tidaklah simetris dikarenakan akses kekuasaan politik dan sumber daya ekonomi. Sehingga beralasan jika hal ini sesuai dengan hubungan antaretnis yang selama berabad-abad di warnai aspek-aspek hierarki.
Berbeda dengan Sami di gunung Tundra Skandanavia Utara, Sami di pesisir Arctic Noewegia tidaklah reindeer herder. Seperti orang-orang Norwegia yang tinggal satu tempat, hidup dari nelayan dan bertani. Kedua populasi ini sudah mengalami kontak selama berabad – abad. Mereka bisa hidup bersama, dan bisa memeluk Protestan semua.
Sedangkan Sami lebih dikenal sebagai kaum yang lemah. Mereka disebut primitif, terbelakang, bodoh dan kotor oleh orang-orang Norwegia pada umumnya. Sehingga mereka tersisih dari percaturan, sedangkan orang Norwegia dihormati di dalam setiap kesempatan.
Etnisitas Bagi Individu
Bagi komunitas etnis, setiap individu berharap mendapatkan sesuatu yang bernilai. Namun kadang, malah menghindar karena takut disebut bagian etnis karena adanya tuntutan dari komunitas yang dominan, masyarakat pada umumnya.
Kriteria Etnisitas
Kriteria disini bervariasi yang didasarkan, antara lain, dari budaya atau bahkan ajaran seperti halnya agama maupun adat. Misalnya Muslim, hindu, maupun Aborigin.
3. Etnisitas sebagai kompetisi sumberdaya
Tingkatan Etnisitas
Ada dua perspektif . Pertama, pandangan yang mengabaikan aspek symbol-simbol, indentitas dari etnisitas yang mementingkan aspek relevansi atau manfaat dan kedua, adalah dengan adanya persaingan dan hubungan individu, perbedaan kekuasaan di masyarakat.
Pertama, berdasar pada kekuasaan, ada yang saling menghormati seperti halnya di Copperbelt, hal ini berarti hubungan yang simetris, sedangkan yang terjadi di pada buruh merupakan hubungan hirarki.
Yang kedua adalah hubungan kelompok etnis yang diorganisasi. Apakah politik mewakili mereka atau tidak baik secara agama maupun budaya. Misalnya Indian, mereka memiliki pemimpin mereka sendiri.
Yang terakhir adalah hubungan antarindividu. Hal ini masih diperdebatkan karena masih ada diskotomi sebutan kami dan mereka.
Teori Pluralitas
Teori ini selalu dikaitkan dengan J.S. Furnivall dalam bukunya Dutch and British Colonies of Sout-East Asia (Kolonial Belanda dan Inggris di Asia Tenggara-Furnivall, 1948). Ungkapan masyarakat plural karena kelompok masyarakat secara sosial dan budaya terbuka yang disatukan oleh hubungan ekonomi yang saling menguntungkan dibawah dominasi politik, biasanya, kolonial di tengah perbedaan bahasa, agama, dan budaya.
4. Identitas dan ideology etnis
Analog dan Digital; Kami dan Kita
Adanya kategorisasi etnis dapat dikaji sehingga makna jenis-jenis masyarakat yang tumpang tindih dapat tertata. Orang asli dan antropolog selalu dihadapkan pada situasi yang paradok dan kontradiksi, saat akan menerapkan taksonomi etnis secara konsisten.
Tidak hanya kami dan kita , namun juga derajad perbedaan menjadi mekanisme klasifikasi. Kamba di Kenya, Kikuyu dan Bantu lebih bisa berkomunikasi dibandingkan dengan Luo dan kelompok lainnya yang berbicara dengan bahasa Nilotik. Dari sini bisa didapat ada perbedaan yang serius, tatkala menilai sama seperti kita dan benar – benar berbeda dengan kita. Ditingkatan inilah yang dikenal dengan analog, dan ini jelas. Sedangkan inklusi atau pun eksklusi yang dijadikan runutan bahwa orang lain dianggap kurang atau lebih sama, inilah yang dikenal dengan digital.
Lebih jauh bisa dirunut disini (Sartre, 1943) tentang perbedaan sebutan kami dan kita. Dengan Kita, orang akan menerima dengan mudah berintegrasi dengan yang lain. Sedangkan kami, jelas menunjukkan sesuatu yang sudah berintegrasi, punya kesamaan aktivitas secara kolektif.
Identitas Eropa
Untuk bisa lebih memahami perkembangan identitas, perlu menghadirkan sejarah itu sendiri. Intergrasi politik dan ekonomi di Masyarakat Eropa (ME) bisa menjadi penjelasan awal.
Masyarakat Eropa bisa dikategorikan sebagai badan koordinasi, pasar ekonomi, dan persekutuan Negara-negara yang sudah merdeka mulai tahun 1957. Namun, akhir tahun 1980-an sampai awal 1990-an timbul kebijakan untuk memperkuat integrasi agar bisa saling menghormati. Hal ini ditandai dengan pergantian kekuasaan dari nasional kapitalis ke dalam paham Brussel dengan harapan ada perubahan pengertian loyalitas. Adanya perluasan kerja sama partai politik antar Negara berimbas pada bidang ekonomi. Misalkan produk Prancis tidak hanya diperuntukkan rakyat Prancis.
Yang kedua adalah proses politik ekonomi, yang tidak mungkin bisa cukup dengan sendirian untuk mengembangkan identitas. Faktor ekonomi sangat penting disini.
Yang terakhir adalah-identitas Eropa tidak mungkin berjalan tanpa bersama identitas bangsa dan etnis yang ada. Sehingga keberadaan identitas Eropa belum bisa langsung terjawab sekarang ini.
5. Sejarah Etnisitas
Perkembangan Hubungan Etnis
Ketiadaan kesinambungan budaya membentuk kelompok-kelompok sedemikian rupa dan akan tumbuh berkembang secara bervariasi berdasarkan kebijakan mereka sendiri.
Kapitalisme
Seiring tumbuh dan perlakuan etnisitas, masyarakat perkebunan mendapatkan perlakuan yang berbeda, kelompok atau elemen rasial mulai berkembang. Di Malaysia dan Guyana, perekrutan buruh terjadi pembedaan yang secara otomatis perekrutannya berdasarkan ras. Sejak adanya penghapusan perbudakan (1935 – 1939), ribuan Indian dari timur direkrut untuk mengisi budak –budak di perkebunan tersebut.
Di Mauritius, para Indian direkrut menjadi pekerja, bahkan diantaranya bisa menduduki posisi yang cukup penting. Banyak kreol (eksbudak) yang bekerja pada pabri gula dibawah orang China dan Mulatoes sebagai manager, tapi tetap, yang menjadi pucuk pimpinan adalah Franco-Mauritian (kulit putih). Sedangkan di Trinidad, Guyana, dan Fiji berbeda. Di Trinidad, yang menduduki posisi penting adalah yang berkulit hitam. Sehingga lambat laun hal ini berimbas ke masalah politik dan ideologi.
Genetika Hitam
Dimulai dari budak Afrika yang dipekerjakan di perkebunan di dunia baru, daerah samudera hindia, yang kemudian membentuk kelompok orang hitam yang bodoh dan berbeda bahasa, yang diperlakukan secara berbeda, mulai dari sistem ekonomi hingga politik, yang semua diwarnai dengan kebijakan berbasis warna kulit.
Indian Sekarang
Dengan adanya penyebaran Indian di berbagai perkebunan di dunia, kompleksitas etnis mulai muncul. Harus diingat bahwa Indian tidak sama dengan kulit hitam yang bebas membentuk komunitas sendiri setelah migrasi.
Dengan adanya penerimaan Indian di beberapa komunitas, kulit hitam meresponnya dengan memperjelas identitas dan batasan etnis mereka. Mereka tampil sebagaimana Indian yang terbelakang, ileteral. Sehingga budaya mereka semakin berkelas dan baru, kadang menyerupai orang Eropa, berbeda dengan Indian yang masih menjadi kelas bawah.
Revitalisasi Etnis: dari Masyarakat ke Individu
Dengan mengikuti proses integrasi dari tradisional ke tatanan yang lebih modern, timbul sikap saling menghargai sebagai simbol universalitas dalam penampilan dan kemampuan. Dengan adanya penularan budaya, terjadi pergeseran pandangan dari identitas kelompok ke arah individu-yang mempunyai kelebihan kemampuan dan identitas.
Pendidikan Modern dan Identitas Etnis
Teknologi telah membuka kesempatan bagi budaya dan organisasi sosial di dalamnya. Pendidikan umum yang ditandai perluasan penyebaran buku-buku dan sumber wacana tentang sejarah dan budaya sangatlah berperan penting disini. Sehingga ada legalitas budaya dan sejarah etnis.
6. Nasionalisme
Apakah Nasionalisme Itu?
Ernest Gellner dalam bukunya tentang nasionalisme mengemukakan konsep:
Nasionalisme merupakan prinsip dasar, yang berpegang pada unit politik dan nasional yang harus selaras.
Nasionalisme yang merupakan suatu sentimen, atau pun pergerakan, dapat dengan pas ditemukan dalam prinsip-prinsip disini. Sentimen nasionalis merupakan rasa ketakutan akan pelanggaran atas prinsip tersebut, ataukan perasaan kepuasan atas adanya pemenuhan. Sebuah pergerakan nasional merupakan realitas yang ditimbulkan oleh sentiment seperti ini (Gellner, 1983: 1; cf. Gellner, 1978:134).
Sekilas, definisi di atas terkesan terbuka, keluar begitu saja. Selanjutnya, apakah yang mendasari nasionalisme? Hampir sama dengan kelompok etnis: jelasnya, nasionalisme merupakan teori legitimasi politik yang tidak bisa diterjang oleh batasan etnis (Gellner, 1983:1). Nasionalisme mengacu pada sebuah hubungan yang aneh antara etnisitas dengan Negara.
Nasionalisme merupakan ideologi-ideologi etnis agar tetap dipegang teguh sebagai ideologi yang dominan. Sehingga Negara kebangsaan merupakan Negara yang didominasi oleh kelompok etnis yang simbol identitasnya (seperti bahasa dan agama) selalu menghiasi simbol-simbol resmi yang sah.
Bangsa merupakan simbol komunitas budaya yang penuh solidaritas antara miskin dan kaya, juga antara kapitalis dan tak bermodal. Hal ini tercermin dalam fungsi perpolitikannya yang berpegang pada industri sosial.
Nasionalisme sebagai agama, terkait antar simbol (Anderson, 1991:15). Nasionalisme (sama dengan ideologi etnis yang lain) seharusnya dipadukan dengan keterkaitan agama dari pada fasisme dan liberalisme. Bruce Kapferer (1988;1989) berpendapat bahwa nasionalisme merupakan suatu doktrin tentang pentingnya realitas. Nasionalisme menimbulkan atusiasme emosi para pengikutnya yang biasanya dikaitkan dengan agama dan legenda sebagai simbolnya, yang kadang terjadi pergesekan. Symbol yang dapat menjadi representasi kebangsaan. Gugur merupakan tanda nasionalisme karena membela Negara.
Kebangsaan
Nasionalisme yang sukses mengindikasikan hubungan antara ideologi etnis dengan perangkat Negara. Ada perbedaan fungsi Negara dan sistem sosial yang lain.
Bangsa-negara, berbeda dengan sistem politik yang lain merupakan ideologi yang mendeklarasikan batasan politik dengan budaya. Labih lanjut, bangsa-negara memonopoli tindakan dan pajak, yang merupakan sumber-sumber kekuasaan dan mempunyai birokrasi administrasi serta aturan tertulis yang mengikat semua warna Negara dan juga, mempunyai sistem pendidikan dan menyediakan lapangan kerja bagi semua warga Negara. Seluruh bangsa-negara mempunyai lagu kebangsaan yang digunakan dalam kegiatan resmi; kadang mengabaikan bahasa minoritas. Para pemimpin politik bisa menyusun aturan dan pajak.
7. Minoritas dan Bangsa
Minoritas dan Mayoritas
Adanya modernisasi dan sistem bangsa-negara, telah melahirkan satu situasi yang sering dikenal dengan sebutan minoritas, yang suka tidak suka menjadi warga Negara, apalagi ditengah kapitalisme. Etnis minoritas merupakan satu kelompok yang jumlahnya sangat sedikit dibanding yang lain.
Sebagaimana konsep tentang etnisitas, konsep pasangan minoritas dan mayoritas adalah relative dan rasional. Minoritas bisa muncul dikarenakan ada mayoritas dan begitu pula sebaliknya. Sink di India yang hanya 1,9 % dari populasi merupakan minoritas, sedangkan yang lebih dari 60 % nya, Punjab merupakan mayoritas. Dan jika Sink memerdekakan diri, maka di India akan muncul Hindu dengan 35% sebagai minoritas. Dengan demikian, jika terjadi perubahan sistem, maka akan ada perubahan minoritas.
Minoritas dan Negara
Dalam dunia kontemporer, setiap individu dipaksa untuk menjadi seorang warga Negara (Davids Maybury-Lewis, 1984). Pada dasarnya ada tiga strategi perlakuan terhadap minoritas.
Pertama, Negara akan mempertahankan asimilasi. Breton dan Provencal misalnya, mereka pada akhirnya menjadi warga Perancis. Kedua, Negara mungkin akan menyeleksi dominasi, yang biasanya mengimplikasikan disentegrasi etnis. Hal ini yang akhirnya menyebabkan minoritas terpisah dari mayoritas. Dan yang terakhir adalah Negara akan mengedepankan ideologi nasional dan mengadopsi sistem multikultural dengan sistem desentralisasi, yang lebih dikenal dengan otonomi.
Dominasi Negara tersebut di atas akan direspon minoritas dengan tiga cara: keluar, bersuara atau loyal (Alfred Hirsmann, 1970). Yang pertama merupakan asimilasi. Yang kedua menolak asimilasi dan mencoba bertahan, dan yang terakhir keluar, atau suksesi atas ketidaksepahaman dengan kebijakan yang ada.
Timbulnya minoritas di tengah dunia baru didorong oleh proses integrasi Negara ke dalam sistem kapitalis, seperti halnya Yanomamo-yang pada akhirnya menjadi minoritas. Dan pada akhirnya konflik territorial pun, bisa saja muncul atas penghak-an hak territorial atas Negara.
Selain di atas, minoritas urban bisa muncul. Ini dikarenakan ada proses perpindahan dari tempat asal, yang biasanya mereka mayoritas disana dan akhirnya menjadi minoritas di tempat tujuan.
Etnisitas di AS: Ras, Kelas dan Bahasa
AS mempunyai perlakuan yang berbeda terhadap etnis dibandingkan di Eropa karena tidak ada sejarah yang semi-legenda sebagai bangsa; populasi di AS berasal dari keempat benua yang ada-Eropa, Afrika, Asia dan Amerika Latin, bahkan hingga sekarang. Sehingga dari mulai kelas, hingga bahasa sangat heterogen. Itulah sebabnya AS menganut sistem multilateral desentralisasi.
8. Bukan etnis
Perubahan Teori Sosial
Masyarakat modern adalah masyarakat yang homogen sekaligus berbeda-beda (Gellner, 1978: 141). Dalam tatanan dunia sosial yang baru, negosiasi lebih dikedepankan sehingga terjadi sikap keterbukaan di tengah masyarakat.
Di tengah globalisasi, muncul lokalisasi dengan munculnya beberapa global sistem. System yang pertama ialah modern yang mengedepankan moral, dan prinsip dasar, sehingga terus dapat berkembang. Kedua adalah yang disebut tradisional, terdiri dari agama dan aliran etnis yang ada dan cenderung antimodernisasi. Selanjutnya adalah yang dinamakan dunia ketiga yang berkembang di tengah kesejahteraan dan kekuasaan yang mengedepankan aspek kerja sama. Terakhir, dunia keempat, strategi ini memilih keluar dari sistem yang ada.
Selain di atas, identitas gender tidak kalah penting meski porsi di dunia perpolitikan, organisasi politik yang berbasis gender masih terbilang langka. Meski selalu dilihat secara faktor biologis, yang berbeda dengan budaya, gender bisa memberikan kontribusi dalam kehidupan bermasyarakat. Sama halnya dengan laki-laki, hitam, dan putih didalam kelompok sosial yang juga harus diperlakukan sama.
Etnisitas Punah?
Akhir etnisitas ditengah modernisasi bisa saja punah, namun dari segi keturunan hal ini juga akan tetap ada. Namun, yang terpenting adalah saling menjaga sikap menghargai di tengah masyarakat yang semakin heterogen, dan multikultural. Sehingga dengan demikian, jawaban peryataan di atas masih memerlukan waktu yang panjang.
9. Nasionalisme: Sekilas di Indonesia-bangsaku
Bersemayamnya orde baru telah membuat pergeseran yang signifikan pada makna nasionalisme. Apakah bangsa Indonesia masih peka terhadap jiwa-jiwa nasionalisme?
Dalam perjalanan panjangnya, bangsa Indonesia mengalami beberapa masa (baca: rezim) yang diantaranya di masa sekaran (baca: 2009). Orde reformasi. Dimana letak nilai-nilai budaya daerah, nasional dan posisi di antara keduanya?
Belum lagi masalah yang dihadapi generasi muda sekarang yang masih, ternyata, rentan terhadap imbas reformasi dan liberalisasi di tengah dunia yang semakin modern?
Dunia pendidikan , yang diharapkan pada garda terdepan, bahkan terasa terimbas kekaburan makna nasionalisme tersebut di atas. Bagaiman insane pendidikan mesti bersikap?
Book:
Eriksen T.H. 1993. Ethnicity & Nationalism: Anthtropological Perspektive. London: Pluto Press
No comments:
Post a Comment